Sabtu, 20 September 2008

Perikanan Bantul


Berita Kompas (Kamis, 10/6), tentang Jambidan, desa sentra perikanan gurami di Kabupaten Bantul yang hancur, adalah salah satu berita yang menarik kita cermati bersama, dan mengandung pesan kepedulian kepada pihak yang terkait dengan perkembangan dunia perikanan di Daerah Istimewa Yogyakarta.


Namun, dua bulan berlalu. Apa yang terjadi setelah kondisi sentra perikanan gurami terbesar di Bantul yang porak-poranda itu ditulis media? Sampai hari ini desa itu nyaris tak ada perubahan, masih terpuruk. Desa yang selama ini lebih dari 50 persen warganya mengandalkan sumber mata pencaharian dari kolam ikan yang luasnya hampir lima hektar masih menjadi desa mati, tanpa kegiatan ekonomi produktif warganya.


Pascagempa, Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) DIY mendata kerugian yang diderita sektor perikanan. Dilaporkan kepada Menteri Perikanan dan Kelautan, kerugian yang diderita akibat gempa mencapai angka Rp 9,876 miliar. Dari jumlah itu, kerugian Rp 8,366 miliar diderita perikanan Bantul. Sisanya, Rp 58,5 juta, dialami Kabupaten Kulon Progo dan Rp 90 juta dialami Gunung Kidul.


Kerusakan yang terjadi ini meliputi sarana dan prasarana budidaya yang dimiliki Diskanla dan aset budidaya yang dimiliki masyarakat kelompok tani ikan. Estimasi awal, untuk merehabilitasi sentra perikanan yang hancur total itu setidaknya dibutuhkan dana awal Rp 1,391 miliar (majalah Trobos, Juli 2006).


Tiga hari pascagempa, Menteri Perikanan dan Kedaulatan Freddy Numberi langsung mendatangi lokasi perikanan yang terkena bencana, termasuk Desa Jambidan. Apalagi, Agustus ini Kelompok Tani Ikan Mina Raharja Desa Jambidan seyogianya maju mewakili DIY ke lomba budidaya perikanan tingkat nasional (namun urung karena gempa meluluhlantakkan kolam ikan mereka). Berdasarkan perhitungan awal, tingkat kerusakan aset perikanan Jambidan ini mencapai Rp 3,2 miliar.


Dengan ditinjau Menteri, apalagi dengan berjanji akan memberi bantuan untuk langkah pemulihan, mencuatkan harapan baru buat warga Jambidan yang ratusan warganya bertahun-tahun menggantungkan hidup dari sektor perikanan.


Ini karena untuk memulai budidaya ikan waktunya singkat, hanya tiga-empat bulan sudah menghasilkan. Tingkat keuntungan budidaya ikan, terutama pembenihan, mencapai 60 persen. Artinya, jika sektor perikanan ini bisa dihidupkan lagi dengan memberikan kail bantuan kepada mereka, dalam tempo enam bulan kondisi perekonomian di Desa Jambidan dipastikan berangsur normal. Ditambah lagi, secara teknologi budidaya, warga Jambidan yang sudah 11 tahun tergabung dalam kelompok tani sudah memahami teknologi budidaya ikan dengan sangat baik, yang meskipun berurusan dengan nyawa (ikan), risiko kegagalannya bisa diantisipasi sangat kecil.


Artinya lagi, apabila pemulihan ini dimulai dari sektor ekonomi yang paling produktif yang ada di lingkungan mereka, proses rekonstruksi fisik dan sosial secara menyeluruh cepat tercapai. Mereka tak perlu berharap pada bantuan living cost, bantuan pembangunan rumah kembali yang dijanjikan, atau bantuan lain yang dijanjikan pemerintah.


Dari perputaran uang di kolam budidaya gurami yang dikembangkan, dipastikan mereka bisa survive untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sedikit demi sedikit menabung untuk membangun kembali rumah yang roboh secara mandiri, tanpa berharap bantuan dari pemerintah yang datangnya entah kapan tak pernah pasti. Peran media massa
Peran media masa yang menginformasikan kondisi riil hancurnya sentra perikanan Desa Jambidan ini benar. Yang tidak benar dan agak aneh adalah ketika pihak berkompeten (Diskanla Bantul atau DIY) yang seharusnya bergerak cepat untuk menyelamatkan desa itu dari ambang kehancuran, ternyata sangat lamban, bahkan terkesan tidak memiliki progres sedikit pun. Padahal, warga Jambidan bukan saja harus menyelamatkan kehidupan ekonomi mereka sendiri, tetapi juga jejaring perekonomiannya yang telah mempunyai mata rantai yang panjang.


Akibat gempa, produk perikanan Jambidan yang selama ini menjadi langganan konsumen dari berbagai kota (karena kualitasnya yang baik/super) seperti Yogya, Magelang, Kebumen, Purwokerto, Solo, dan Bogor, secara otomatis terganggu kontinuitas dan mata rantainya. Sebagian besar konsumen bahkan sudah beralih ke kelompok tani ikan lainnya, seperti Ngrajek atau Cilacap. Jika hal ini dibiarkan terus- menerus, maka produk perikanan Jambidan akan kehilangan sama sekali pelanggannya. Dengan kata lain, mereka harus kembali membangun jaringan pemasaran dari nol. Untuk itulah, recovery sentra perikanan di Desa Jambidan ini mendesak dilakukan. Harus secepatnya ada lembaga yang berani memberi kail pemberdayaan di sana. Sebetulnya pada tahap awal tak diperlukan terlalu banyak anggaran untuk memulai memulihkan dan menata kembali sentra perikanan di daerah itu. Dengan dana sekitar Rp 200 juta saja, bisa dipastikan ekonomi masyarakat Jambidan akan berangsur membaik, menuju ke arah normal.


Uang Rp 200 juta, antara lain bisa dimanfaatkan untuk membangun sekitar 100 kolam yang hancur, membeli induk siap pijah 100-200 ekor, membeli pakan dan obat-obatan selama dua-tiga bulan pertama, serta peralatan-peralatan teknis, seperti jetpump, hafa, jala, timba, dan sebagainya. Pada bulan keempat, mereka sudah bisa menuai hasil panen bibit pertama. Paling tidak, di panen perdana ini mereka akan bisa meraih laba bersih Rp 5 juta-Rp 10 juta dari 100-an induk yang dipijahkan tadi. Tergantung seberapa banyak daya tetas dan persentase kematian bibitnya (Kompas , 10 Juni 2006).


Lebih jauh, jika kegiatan perekonomian perikanan ini sudah mulai, maka secara signifikan akan lebih menguatkan lagi mental masyarakat yang sempat jatuh. Di sisi lain, secara perlahan sekian puluh orang yang selama dua bulan ini sama sekali menganggur akan mendapat kembali lahan pekerjaannya, menjadi tenaga kerja yang berpendapatan meski belum sebesar saat sebelum gempa.


Among Kurnia Ebo Ketua Lembaga Pengkajian Agribisnis Strategis dan Konsultan Budidaya Perikanan Air Tawar di Yogyakarta

Tidak ada komentar: